Aneh.
Saya tidak mempermasalahkan preferensi
perempuan seperti apa yang dia inginkan, tapi statementnya yang mempertanyakan
alasan perlunya perempuan untuk berpendidikan, membangun karir, hingga yang
dimaksud ikut-ikut urusan cowok sudah jelas membuat saya ‘gagal paham’. Tentu
kekesalan yang saya miliki valid karena nyatanya praktik patriarki maupun
pandangan misogini masih eksis dan banyak terjadi. Hal ini menjadi sebab kenapa
saya membuat tulisan ini.
Selain itu beberapa ungkapan seperti,
“perempuan nggak usah ikut-ikutan, yang dipake perasaan, bikin kerjaan ruwet”
juga sering saya temui. Meskipun saya sudah terbiasa, bukan berarti saya tidak
sebal ketika mendengarnya. Kenapa seolah-olah perempuan menjadi gender kasta
kedua yang ide-ide dan gagasannya tidak dianggap? Kenapa perempuan tidak bisa
hidup sebebas dan senyaman laki-laki? Jangankan berpendapat maupun berekspresi,
perempuan berpendidikan saja sudah diperdebatkan.
Perlu dipahami bahwa ujaran seperti ini
cukup berbahaya untuk dibiarkan. Perempuan akan semakin lama dibisukan oleh
lingkungan karena dinormalisasinya pemahaman perempuan yang mengedepankan nafsu
dalam berpikir. Perspektif wanita akan terus dibatasi dan tidak
terartikulasikan dengan baik di masyarakat. Suara wanita pun selamanya akan
selalu termarjinalkan.
Kepekaan perasaan wanita kerap menjadi
dalih bahwa mereka adalah makhluk yang rendah akal dan tidak berhak berekspresi
di ruang publik. Ungkapan ini sudah dipatahkan oleh sejumlah penelitian yang menunjukkan
bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki kemampuan berpikir rasional yang
sama. Meskipun volume amigdala baku otak laki-laki lebih besar 10% dibandingkan struktur
milik perempuan, faktanya perbedaan gender sama sekali tidak berpengaruh dalam
kemampuan kognitif. Jadi semakin jelas bahwa stigma ‘perempuan rendah akal’
yang melekat hanyalah buah dari konstruksi sosial yang selama ini
mengesampingkan lingkaran feminin.
Pendidikan menjadi pondasi penting untuk
perempuan mengaktualisasikan diri dan mengembangkan kemampuan yang ia punya. Melalui
fasilitas edukasi yang mudah didapat dan keleluasaan berpikir melalui nalar
kritisnya akan membentuk karakter perempuan berdaya yang kuat dan matang. Entah
nantinya menjadi ibu rumah tangga atau perempuan/ibu yang berkarir, saya pikir semuanya
mempunyai privilegenya masing-masing.
Kenapa ibu rumah tangga juga perlu
berpendidikan? Perempuan yang terpelajar memiliki lebih banyak bekal pengalaman
dan keterampilan untuk mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Analytical
thinking dan scientifical thinking-nya sudah terasah dengan baik sehingga
dalam mengambil keputusan tidak berdasarkan ‘katanya’ saja. Mereka pun akan
lebih melek dan update terhadap berbagai aspek rumah tangga, termasuk akses
pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang lebih baik untuk keluarganya. Nyatanya
perempuan yang terdidik tidak bertujuan untuk menjadi dominan diatas laki-laki.
Eksistensi perempuan berdaya tidak akan merugikan laki-laki sama sekali. Justru
wanita terpelajar akan menghadirkan kerja sama yang baik dengan laki-laki dan
membentuk iklim lingkungan keluarga yang sehat dan nyaman.
Saya sendiri tidak menemukan teks agama
yang melarang wanita mengenyam pendidikan dan menjadikan kegiatan-kegiatan
domestik sebagai kewajiban mutlak. Banyaknya perempuan pintar pada jaman nabi,
sahabat, tabi’in dan jaman setelahnya pun menjadi bukti bahwa
semua wanita memiliki hak yang sama dalam mendapatkan akses edukasi seperti
hal nya laki-laki.
Toh, belajar dan menempuh pendidikan tinggi
merupakan bentuk proses berpikir dan membentuk karakter yang matang dalam
bertindak serta menghadapi proses kehidupan yang lebih jauh. Jadi tidak ada salahnya
perempuan ‘sekolah tinggi-tinggi’.