Belajar Empati Melalui Media Sosial
03.07
Di era globalisasi ini, seakan-akan semua
masyarakat di dunia dengan mudah bisa tersambung menjadi satu melalui teknologi
internet. Melalui teknologi ini pula, setiap individu di belahan dunia bagian
manapun mampu membagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi,
berpikir, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan
pasangan, dan membangun sebuah komunitas lewat media sosial.
Pesatnya perkembangan media sosial
akhir-akhir ini dikarenakan semua orang seakan bisa memiliki medianya sendiri.
Sejak populernya media sosial, kita seolah tak lagi sungkan membagikan
momen-momen kehidupan pribadi ke ruang publik. Media sosial memberi ruang
bagi kita untuk menunjukkan diri dan juga ada "penontonnya".
Dalam ber-media sosial, kita bebas
menciptakan, mengkreasikan, menuliskan, maupun membagikan konten yang kita mau.
Kebebasan ini pun seringkali memunculkan keinginan aktualisasi diri
dan kebutuhan untuk menciptakan personal branding. Barang-barang bagus,
lokasi liburan mewah, hingga makanan mahal di restoran eksklusif yang kerap di
posting seseorang melalui media sosial yang dianggap sebagai pelengkap
kepribadian.
Sebagian orang menyebut kebiasaan senang
posting kehidupan pribadi, termasuk barang-barang yang kita punyai, sebagai
perilaku pamer dan narsistik. Di lain pihak, banyak juga orang yang menganggap
sah-sah saja kita mengekspos kehidupan pribadinya di akun miliknya.
Fenomena seperti ini ditangkap oleh dunia
bisnis sebagai ladang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Para pelaku
bisnis menawarkan produk-produk yang dikemas dengan branding sebagai gaya hidup
modern dan kemudian melahirkan perilaku konsumtif dari para pengguna media
sosial sebagai sasarannya.
Padahal jika dicermati lebih jelas,
terkadang aktualisasi diri dan personal branding yang ingin kita ciptakan dan
tunjukkan kepada publik seringkali berlebihan. Banyak hal-hal yang tidak
berfaedah dan tidak memiliki manfaat skala panjang hanya untuk memuaskan
kesenangan semata.
Seandainya kita mau melihat sekeliling,
masih banyak orang-orang yang lebih membutuhkan, dan cara kita menghamburkan
uang hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain adalah hal yang sia-sia.
Masih banyak orang-orang yang kelaparan
di pinggir jalan. Mereka yang bekerja seharian, tapi masih tidak ada uang untuk
makan keesokan harinya. Mereka yang tidak pernah libur membanting tulang karena
khawatir tidak bisa membiayai pendidikan anaknya. Mereka yang hanya bisa
membeli barang-barang bekas dan tidak layak untuk digunakan sehari-hari.
Seandainya kita bisa lebih melek terhadap
keadaan sekitar, melihat mereka yang kekurangan dan masih saja tidak lelah
untuk bekerja demi bertahan hidup. Mereka yang hidupnya tidak seberuntung kita.
Miris ketika mereka yang dalam keadaan
susah melihat postingan yang kita bagikan ketika menghambur-hamburkan uang di
media sosial. Ketika kita sibuk meng-aktualisasikan diri dan berusaha mengikuti
gaya hidup ‘yang katanya’ modern. Padahal jika uang dan barang yang kita
hamburkan bisa bernilai lebih berharga jika digunakan oleh mereka.
Mulai dari sekarang hendaknya kita lebih
berpikir serta bertindak cermat dalam memposting atau membagikan konten di
media sosial. Mengedepankan empati, bukan sekedar gengsi.
Mencoba untuk menahan diri agar tidak
terjebak dalam arus gaya hidup kekinian. Mencoba untuk lebih peka terhadap
sesama. Mencoba untuk melihat realita di sekeliling kita. Masih banyak
orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Selain sebagai pengingat betapa
beruntungnya nasib kita, sekaligus menjadi langkah awal untuk rajin bersedekah.
Dimulai dari diri sendiri, menyisihkan
sebagian rezeki dan berbagi. Bukankah menyebarkan kebahagiaan kepada sesama terasa
lebih indah daripada hanya memuaskan nafsu semata?
0 komentar